Wednesday, February 23, 2011

Sebuah kisah tertulis pada buku lama


Ini adalah cerita ayahku dahulu kala, ditulis pada Desember 1990—setahun setelah aku lahir—pada sebuah buku berjudulPengantar Sejarah sebagai Ilmu tulisan Drs. Sidi Gazalba terbitan 1966…Sebuah buku lama yang berharga baginya, mungkin juga untukku.
———————————————————————————————————————————————
“…ketika fikiran mendorong untuk mencari upaya-upaya memenuhi tuntunan kehidupan ekonomi keluarga, ketika lelah terasa dan seakan habis segala daya, kupaksakan kaki untuk terus melangkah walau tak jelas lagi arah sekedar berharap :sugan jeung sugan, tiba-tiba mata mengarah ke suatu benda tergeletak di dekat comberan jalan …pikirku : sigana manfaat keur Mamad*… “
Begitu cerita Apa—Ayahku (yang juga kakekku yang tak pernah kutemui dalam wilayah kesadaranku—hana)—ketika buku ini ditemukannya. Saat itu aku tengah mengakhiri tahun kedua perkuliahan. Saat kuterima dari beliau, buku ini sangat kotor dan berbau tak sedap, jilidnya rusak dam berlumur Lumpur pasar…
Kubersihkan dan dijemur sehari penuh sampai ‘keriting’. Malamnya sampai selama empat hari aku hanya membaca buku ini yang tak terasa membawa diriku untuk memasuki relung-relung dunia sejarah…dan mendorongku untuk lebih banyak lagi membaca buku-buku sejenis lainnya sampai untuk beberapa lama kutinggalkan bacaan wajib perkuliahan fakultasku…malah semakin jauh meloncat ke dunia sosiologi. Kebudayaan, peradaban, dan humaniora. Ketika jadwal ujian semester tiba baru kusadari : seharusnya aku lebih banyak membaca persoalan hukum.
Dan, hari selasa 17 Juli 1990, beliau menutup riwayat kehidupannya.
Sejak beliau sakit parah, praktis setahun kutunda perkuliahanku sekalipun beliau tak menyetujuinya. Enam bulan sepeninggal beliau, aku mempersiapkan penyusunan skripsi. Yang pertama kulakukan adalah membereskan buku-buku yang selama setahun tak terurus sambil merumuskan kerangka skripsi…
Tiba-tiba aku melirik buku ‘kriting’ ini yang sebagiannya malah ‘diisengi’ anak-anak tikus yang akrab di kamar kami…
Terngiang kembali beberapa kalimat paling berkesan dari ayahku ketika mengomentari aktivitas kuliahku : “Sing bener-bener tholab elmu teh, ulah bodo siga Apa. Eta the lain ukur supaya aya bekel jang neang gawe, nu leuwih penting deui, caang hate, luas pikir, jeung bener hirup”
Yang lebih menggores adalah ketika menyerahkan buku yang ditemukannya di jalan ini : “ Mad, ari ieu the buku naon? Sigana mah buku alus, Apa manggihan di jalan.”
Kalimat polos yang baru dapat kutangkap maknanya saat ini. Beliau yang tidak memahami kualifikasi sebuah buku; hanya berharap “sugan manfaat keur budak”,ternyata mencerminkan dorongan semangat untuk berilmu.
Semua terkenang: seolah-olah beliau mengantarkanku untuk memahami cakrawala kemanusiaan dan pentingnya menggali “ibrah” dan “hikmah” dari sejarah…
Dari dunia sejarah dan peradaban yang dapat kubaca hanya dapat menyimpulkan :
BANGUNLAH JIWA SETINGGI NILAI ILAHI
DAN SELUAS KEMANUSIAAN
SERTA JADILAH DIRI SENDIRI
Akhir Desember ‘90
Kuring
===============================================================================
Aku terpaku, terpana sekaligus menjawab sekelumit tanya dalam hati tentang diri ini. Sepertinya teori dominansi pewarisan sifat Ayah padaku bukan hanya teori ‘iseng’ yang muncul di benak mendapati betapa bingungnya aku atas diriku sendiri, dengan tanya :aku ini seharusnya hidup seperti apa???
Aku tak pernah tahu apa yang beliau inginkan dariku. Namun, aku—mungkin juga beliau—mendapati perjalanan pikiran yang tak jauh beda, dengan aku di posisi Ayahku, dan Ayahku di posisi Apa. Pun, aku menemukan buku tua ini terselip diantara buku-buku social politik dan budaya milik ayahku—yang belakangan kugemari, saat ini, saat aku mengakhiri tahun kedua perkuliahanku di farmasi.
Bahwa memang bukan buku itu—dimana Ayah menuliskan kenangannya—yang menjadi awal titik balikku, Aku mengawalinya di awal semester tiga lalu. Selama tiga hari aku melahap buku pertama dari sebejibun buku ayahku yang berkisar—jelas—sangat jauh dari bidang obat-obatan, dan setelah itu aku terlena dengan sosiologi, humaniora, dan peradaban, juga sejarah. Dan kasus yang sama dengan Ayah terjadi padaku. Saat Ujian akhir semester tiga tinggal beberapa detik lagi, aku berpikir : seharusnya aku lebih banyak membaca persoalan farmasi!!! Akhirnya C, D, dan E menghiasi transkripku.
Namun, Ayahku, hari ini, masih hidup, alhamdulillah…Syukur padaMu Allah…
Sejak itu aku mulai ‘membaca’ Ayahku. Beliau bukan orang yang suka bercerita—Mungkin inilah perbedaannya dengan Apa. Perbedaan lain adalah, Ayah tidak mendidik dan menyemangatiku dengan kepolosannya. Ayah, mnyemangatiku dengan ‘dirinya’. Ayahku menjalani pendidikannya, membentuk suatu pola hidup dalam dirinya, yang ia inginkan menerap pada putra-putrinya—padaku. Dan pola itu aku baca pada buku-bukunya, pada tulisan-tulisan dan komentarnya, pada ketegasannya, pada apapun dalam dirinya, meski tidak pada lisannya. Beliau tak mutlak inginkan aku tenggelam dalam ‘dunia farmasi’ yang beliau tahu betul, itu akan menyita seluruh waktuku. Beliau hanya ingin aku ‘hidup’. Terang hati, luas pikir, dan benar hidup—seperti yang Apa pesankan padanya.
Maka aku tak lagi mengejar A untuk ayahku. Aku, mengejar ‘hidup’. Aku, mengejar Jiwa Setinggi Nilai Ilahi, Seluas Kemanusiaan, dan Menjadi Diri Sendiri—pesan Ayahku.
Beliau mengantarkanku untuk memahami cakrawala kemanusiaan dan pentingnya menggali “ibrah” dan “hikmah” dari kehidupan.
Satu hal yang ku syukuri, kerinduanku untuk mengenal Apa—kakekku, sedikit demi sedikit terpenuhi. Terimakasih, Ayah.
Awal juli 2009

No comments:

Post a Comment