"Mudun nyiksa tuur, nanjak nyiksa napas."
(Turun menyiksa lutut, naik menyiksa napas).
Kalimat ini muncul begitu saja saat naik turun tangga menuju dan dari Curug Malela, Bandung Barat, Juni 2 tahun lalu. Sebuah iklan produk susu ternama yang menggambarkan berapa banyak beban yang disangga oleh sendi dan tulang ketika naik atau turun tangga. Dari situ saya tahu, ternyata berjalan di jalanan menurun memang terasa mudah, tapi justru sendi menyangga beban hampir 2x lipat dibandingkan saat berjalan menanjak.
Perjalanan ke Curug Malela mungkin tidak seberapa dibandingkan treking ke puncak-puncak gunung, tetapi jalan setapak yang licin menujunya lumayan jauh dari jalan 'utama' dan dengan kemiringan yang lumayan pula. Jalanan menuju lokasinya menurun tajam dan jalanan pulang dari lokasi pun otomatis menanjak tajam.
Saat menuju ke sana, jalanan menurun, tapi tetap tidak mudah dilalui. Licin, berbatu. Rasanya sudah lama turun, tapi turunan tak-habis-habis. Tidak terasa sesak karena lelah, tapi lutut bergetar.
Saat pulang dari sana, jalanan menanjak. Kaki terasa sakit, padahal beban tidak terlalu berat. Yang paling menyiksa adalah napas yang larinya entah kemana. Lelah.
***
Overall, perjalanan ini asik-asik aja.
***
Soal derita turun dan naik, mungkin iman pun begitu.
Saat berusaha naik, pengorbanan yang dibutuhkan bukan alakadarnya. Tidak serta-merta iman datang tanpa usaha meyakini hal-hal di luar jangkauan nalar kita. Menemukan dan mempertahankan iman yang enam (pada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Akhir, dan Takdir) sungguh membutuhkan energi yang LUAR BIASA.
Di level terendah, mungkin contohnya shalat subuh. Mengaku-lah, berat, bukan? Berat juga untuk tidak tidur lagi. Shalat tahajud juga mungkin selevel, sama beratnya.
Dalam sebuah hadist (lupa nama periwayatnya), manusia dibelenggu oleh 3 belenggu. Belenggu pertama lepas ketika ia bangun dari tidur di sepertiga malam. Belenggu kedua lepas ketika ia berwudhu. Belenggu terakhir terlepas ketika ia melaksanakan tahajud.
Level selanjutnya mungkin contohnya menjaga tilawah, konsisten bershadaqoh, mencari ilmu, menerapkan ilmu, menyebarkan ilmu, silaturahim, menahan amarah, menjaga hubungan saudara dan teman, dll. Manusia hari ini begitu senang hidup 'sendirian'. Mudah berbagi kesulitan, tapi sulit berbagi kemudahan. Satu hal yang sering dilupakan, bahwa sebagaimana ilmu yang semakin ditebar semakin bertambah, rezeki pun begitu.
Ya, level selanjutnya lagi mungkin keyakinan terhadap janji-janji Allah. Seberapa yakin diri kita, bahwa Allah akan menggantikan hal-hal yang kita cintai yang kita korbankan demi membuktikan cinta padaNya dengan sesuatu yang jauuuuuh lebih besar?
Sungguh, kita mampu korbankan harta, korbankan tenaga, korbankan waktu untuk hal yang kita senangi dan cintai, untuk perjuangan fii sabilillah.
Allah meminta kita memurnikan ketaatan, maka kita mampu mengabaikan kecintaan terhadap tuhan-tuhan lainnya (contoh: harta, tahta, wanita).
Allah meminta kita memperjuangkan keyakinan dan jalan hidup, maka sesungguhnya kita mampu menahan bara api ini di tangan kita.
Allah meminta kita meninggikan kekuasaanNya di atas kekuasaan lain di dunia, maka sesungguhnya kita MAMPU.
Hanya, sejauh mana kita mampu menahan perihnya siksaan napas saat menanjak?
Sesungguhnya, tidak ada pilihan lain bagi kita, sebab jalanan menurun pun sama menyiksanya.
Lagi-lagi, ini soal pilihan.
Bandung, 26 Maret 2015, 11.37
Kontemplasi (lagi)
No comments:
Post a Comment