Sunday, July 29, 2012

Ternyata Sabar itu Iman


Reaksi setiap orang ketika mendengar atau melihat suatu berita akan berbeda. Dan jika kita mengamati sedikit lebih jauh, kita akan menemukan bahwa hampir setiap berita sekarang ini selalu merupakan kabar buruk. Belakangan yang santer terdengar yaitu isu naiknya harga BBM april mendatang. Ada yang tercengang, ada yang merenung, ada yang biasa saja, ada yang marah, ada yang frustasi, mungkin juga ada yang malah merasa senang, wallahu’alam. Pun, akibatnya pada setiap orang juga akan berbeda. Ada yang tidak terpengaruh, ada yang semakin berjaya, namun jauh lebih banyak yang tercekik—mengingat lebih dari separuh dari seluruh masyarakat Indonesia merupakan kelas pas-pasan ke bawah.

Belum lagi ‘derita negeri’ lainnya; korupsi, pembunuhan, perampokan, kecelakaan, bencana alam, dan kawan-kawannya. Kalau ada saja satu orang yang dengan rajin menghitung persentase berita buruk dengan berita baik di negeri ini, mungkin hasilnya akan 99% berita buruk di seluruh bidang, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam, yang semuanya saling berkait. Salah satu contohnya saja, efek dari naiknya harga BBM kali ini akan membuat harga-harga yang lain juga naik. Kebutuhan hidup meningkat, namun penghasilan tetap. Yang sebelumnya terpuruk, akan makin terpuruk. Mengingat satu sabda Rasulullah, bahwa kefakiran sungguh dekat dengan kekufuran, hidup yang tercekik akan membuat siapapun akan berbuat apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk mencuri, membunuh—menghalalkan segala cara. Dari masalah ekonomi melebar ke masalah sosial.

Semakin lama akan semakin sedikit jumlah orang ‘waras’ di negeri ini. Sebagai individu, ada dua pilihan bagi kita : ikut terhanyut atau melawan arus. Dari akal sehat kita akan dapatkan jawaban untuk melawan arus, atau minimal bertahan dari kekufuran ditengah kefakiran. Namun, sunnatullahnya, Allah men-setting ujian untuk senantiasa meningkat. Apa, yang akan bisa membuat kita bertahan?

Firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45). Jika sabar sudah, shalat sudah, tetapi maksiat tetap berlanjut, berarti ada sesuatu yang harus diluruskan.

Persepsi umum masyarakat tentang sabar adalah pasrah. Bukan pasrah pada Allah, namun pasrah pada keadaan. Orang sabar, (maaf) pantatnya lebar. Pelesetan ini sudah sering kita dengar. Tapi memang begitulah adanya. Orang yang sabar adalah orang yang duduk manis dan menerima apapun yang terjadi tanpa berbuat sesuatu, seolah pintu penyelesaian dari suatu masalah tidak pernah ada.

Ibnul Qayyim pernah berkata“Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah, sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24). Sabar merupakan sikap optimisme seorang mukmin atas segala hal yang dihadapinya. Setiap masalah akan selalu ada jalan keluar, dan juga, setiap masalah tidak akan melampaui batas kemampuan diri.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. Al-Insyirah :5-8)

Allah memerintahkan kita untuk mengerjakan urusan, dan berharap hanya pada Allah. Kemudian, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya,” (QS Al-baqarah : 286)

Jika seseorang memiliki keyakinan atas apa yang telah Allah janjikan dalam firman-firmannya, disitulah kesabaran akan bekerja. Apapun yang terjadi, seberat apapun tantangan yang dihadapi, ia akan teguh dalam ketaatannya. Keyakinan yang akan membuat dia percaya akan ada akhir yang baik dari apa yang diusahakannya. Juga tentang ujian yang terus akan meningkat, dia akan sama sekali tidak keberatan.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS Al-Ankabut : 2)

Ujian bagi orang beriman akan menimbulkan kesyukuran, karena justru keimanannya lah yang mendatangkan ujian. Dan bentuk kesyukuran itu adalah sabar dan tawakalnya pada Allah. Pada akhirnya, sabar adalah keimanan itu sendiri. Semakin yakin seseorang pada Allah, semakin kuat dia menghadapi apapun dalam ketaatan. Kesabaran yang sejati tidak akan membuat seseorang keluar dari jalur ketaatan pada Allah swt. Artinya, jika ujian, masalah, kesenangan, apapun itu, masih melalaikan kita dari ketaatan pada Allah, maka pertanyakanlah iman kita.

Lain daripada itu semua, imbalan yang ini pasti sangat menggiurkan. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).

“Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).

Jika ketidaksabaran dapat menjerumuskan kita pada kelalaian dan kekufuran—dan pada akhirnya neraka, maka kesabaran juga merupakan  syarat mutlak untuk kita bisa membeli surga Allah. Setelah memahami ini semua, rasanya tidak ada jalan lain bagi kita selama hidup di tengah kefakiran dan kekufuran, selain bersabar dan tawakal.

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS Ali-Imran : 200)

Wallahu’alam bish shawab

untuk Buletin Keluarga Sakinah DPU-Daarut Tauhid
Edisi Maret (atau April ya?) 2012

Seumpama : perang kali ini..

Seumpama prajurit yang ditinggal pasukan ke medan perang..
bukankah Ramadhan itu medan perang?
sementara yang pasukan berperang, satu prajurit masih ditempa dirinya..
setidaknya Ramadhan masih berarti sesuatu..

Seumpama prajurit-siap-mati abal-abal..
prajurit-prajurit yang lukanya dibiarkan basah, atau membiarkannya tetap basah..
segores luka yang melahirkan sejurang neraka..
sejurang neraka untuk satu kemunafikan..
bukankah hanya iman yang membawa kami ke surga?
bukankah hanya iman yang mengeringkan semua luka?
setidaknya Ramadhan bagi kami masih berarti sesuatu..


Seumpama prajurit yang seumpama ikan..
yang pasukan adalah air baginya..
prajurit yang terpisah dari pasukan, seumpama ikan yang terpisah dari air, katanya
ikan yang mati, betapa banyakpun air yang dikirimkan (lagi), dia akan tetap mati, katanya

Tapi prajurit yang sekarat, yang seumpama ikan yang sekarat..
air...bagaimana bisa ku kejar?

Seumpama prajurit yang kehilangan medan perang...
seumpama Ramadhan yang kehilangan Badar...
bulan mulia adalah selalu peperangan..
bukankah aneh, ramadhan tanpa keringat dan darah?

Seumpama prajurit abal-abal yang sekarat yang seumpama ikan yang sekarat..
Ramadhan, ketika raga berdarah-darah untuk TuhanNya, bukankah ia yang menjanjikan surga?

Darah ini justru membuatku tampak segar..

Monday, July 16, 2012

Terjagalah..!

Bukankah biasanya harimu selalu melelahkan? Bukankah biasanya tidurmu adalah karunia luarbiasa dari Allah karena kelelahanmu untukNya?

Kali ini Dia membuatmu terjaga sepanjang hari dan malam, apakah kau lelah? Sudah lama sekali sejak kau mencintaiNya...

Berpikirlah...Terjagalah...

Ramadhan kali ini akan mencambukmu kuat-kuat...jika kau masih tidak merasakan apapun, bisa dipastikan, hatimu sudah membatu...

Terjagalah...Hana!
​16 juli 2012, Kosan
Di sela-sela insomnia...

Saturday, July 7, 2012

..tidak sesederhana itu


Awalnya jelas. “dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka melaksanakan ibadah kepadaKu,” (QS 51 :56). Tetapi memang tidak sesedarhana itu. Paling tidak, banyak dari kita yang muslim merasa tidak SESEDERHANA itu. Karena dunia kebendaan sudah begitu terbuka lebar, menawarkan berjuta suka cita. Kita disudutkan, diperangkap, dan dikotak-kotakkan ke dalam kesalahpengertian. Kita jadi berpikir dan bersikap lain.

Adakalanya, kita perilakukan Tuhan layaknya manusia. Cukuplah dengan sekadar sanjungan, persembahan, dan sedikit peribadahan dalam saat-saat tertentu. Selebihnya, kita menjadi  ‘pelayan’ bagi sesuatu yang lain. Dengan ini kita MERASA telah beribadah.

Atau, kita anggap dunia sebagai rumah penjara. Tubuh adalah ruang tahanan jiwa. Dan antara kesucian serta pencarian aspek kebendaan adalah dua hal yang sulit dipertautkan. Kita tanggalkan dunia. Lari ke pojok-pojok terpencil, membuang dan menyiksa diri. Kita sebut nama Tuhan berulang. Dengan itu kita menganggap sampai kepada puncak kekuatan ibadah. Kita MERASA telah beribadah.

Lalu apa yang bisa diharapkan dari keduanya? Bagaimana kiranya Tuhan berkenan atas pelayanan itu? Bagaimana pula masyarakat muslim bisa terbentuk karenanya?

(Sayid Abul ‘Ala Maududi, Dua Pilar Islam dalam Sistem Peribadatan, 1983)