Thursday, June 13, 2013

[Selftalk] Kau Marah?

13508277091505189680_300x208.85167464115

Kau pasti familiar dengan adegan ini di drama, film, atau sinetron. Seseorang menahan marah dan kesal, lalu menumpahkannya dengan melempar barang-barang yang ada di sekitarnya, 'menyapu' barang-barang di meja, atau tingkah-tingkah yang merusak lainnya.

Tapi, kemudian setting tempat tersebut dipakai lagi untuk adegan lainnya. Pernah terpikirkan, kah, siapa yang membereskannya? Kau bisa membayangkan, ah mungkin pembantu, atau orang tuanya. Yang jelas, kalau konteksnya drama alias fiksi, ya pasti kru produksinya yang membereskan.

Dan, satu hal lagi yang jelas: aku tidak pernah melihat adegan seseorang yang membereskan barang-barang yang dia lemparkan sendiri karena kemarahannya.

Kenapa? Sepertinya itu akan merusak alur cerita. Pengarang cerita pasti menyediakan 'obat' untuk kemarahan si tokoh. Menjadikannya 'sembuh' begitu saja akan membuat si pengarang kehilangan cerita.

Hemmm, ga ngerti ya? Heu, ya sudah.

***

Kenapa aku bilang "sembuh begitu saja"? Well, sebenarnya aku belum pernah melampiaskan kemarahan dengan melempar barang. Tapi, aku membayangkannya. Betapa beraninya, betapa ksatrianya, seseorang yang merusak sesuatu, lalu memulihkannya kembali.

Kenapa? Kemarahan itu sejatinya merusak. Kau tidak akan bisa merasa ingin 'beberes' ketika marah. Kau pasti merasa ingin merusak sesuatu. Maka, ketika raga bertindak 'memperbaiki', ia sedang mengobati kemarahan yang dirasakan oleh emosi. That's why i said "how brave it is."

***

Bagaimana dengan seseorang yang memendam kemarahan? Orang bilang, emosi yang dipendam itu tidak baik untuk kesehatan. Maka, alih-alih merusak barang di sekitarnya, ia merusak tubuhnya sendiri. Begitukah?

Sepertinya memang begitu. Orang yang memendam marah, kekebalan tubuhnya cenderung menurun. Dia jadi mudah sakit. Jika raganya bisa menahan, hati akan menanggungnya. Entah itu memicu munculnya penyakit-penyakit hati, membuat jalan pikiran menjadi tidak jernih, apa pun.

Well, salah satu contoh, salah seorang pionir pengkhianatan yang terlibat dalam insiden perang khandaq adalah seorang munafik--yang saya lupa namanya dan saya lupa sumberceritanya [dicari dulu yah hehe]--yang tunduk pada Rasulullah setelah Madinah dikuasai. Usut punya usut, sebelum kedatangan Rasulullah, ternyata Ia adalah salah satu tokoh terpandang di Madinah. Dengan kehadiran Rasulullah di madinah, kekuasaannya menjadi terbatas. Ia tunduk, tapi terluka harga dirinya. Kemarahan yang dipendam melahirkan kemunafikan dan pengkhianatan. Raganya memang baik-baik saja, kejernihan hatinya yang hilang.

***

Jadi, harus bagaimana ketika marah? Tidak boleh marah? Entahlah. Emosi itu karunia Alloh, dari sononya manusia memang begitu.

Serba salah? Tidak. Marah, ya marahlah. Tapi, bertanggungjawablah dengan itu semua. Kenapa? Karena realitas itu bukan drama, yang ketika satu tokoh merusak sesuatu karena--ceritanya--marah, kru produksi akan membereskannya untukmu. Bukan.

Kau marah, kau merusak hatimu (misalnya), bertanggungjawablah. Bereskan lagi. Karena kendali dirimu hanya ada di tanganmu sendiri.

***

images (6)

Ada cara lain? Ada. Kalau kau tidak ingin repot bertanggungjawab atas kemarahanmu sendiri (yang bakal banyak membuang waktu), jangan jadi pemarah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Berilah wasiat kepadaku”. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah engkau marah”. Maka diulanginya permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau: “Janganlah engkau marah”.(HR. al-Bukhari)

"Janganlah kamu marah" katanya ada 2 makna:

1. Latih diri untuk selalu sabar dan menjadi pemaaf;
2. Jika timbul rasa marah, kendalikan diri, pikiran, ucapan, tindakan, sebagainya.

Seperti tadi yang aku bahas, marah itu merusak. Ternyata memang kata Rasulullah begitu.
Dalam hadits riwayat Ahmad, laki-laki yang meminta wasiat kepada Nabi itu berkata: “(kemudian aku memikirkan wasiat Nabi tersebut), ternyata kemarahan adalah mencakup keburukan seluruhnya”.

Taruhlah begini, kau merasa kesal dengan orang tuamu. Kau marah dan menghardiknya--sengaja atau tidak sengaja. Bayangkan betapa terlukanya.

Katanya boleh marah asal bertanggungjawab? Silahkan saja. Tapi realistis saja, coba pikir mana yang bisa kita perbaiki seutuhnya dan mana yang tidak. That's why, mengendalikan diri itu PENTING, sodara-sodari.

Bagaimana caranya mengendalikan diri ketika merasa marah?
1. Diam
2. Ingat apa yang akan rusak ketika marah dan bagaimana kita perbaiki, juga berapa banyak waktu dan tenaga yang terbuang percuma. APALAGI hanya karena hal SEPELE.
3. Ta'awuz: "A'udzubillahi minasyaithaanirrajiim" [Artinya tau, kan?]
4. Wudhu
5. Ubah posisi: Berdiri-->duduk-->berbaring

Ah, pokoknya lakukan apa saja yang tidak merusak. Gerakkan raga ke arah yang positif. Kalau perlu, daki Himalaya sampai ke puncak Everest sampai marahnya reda [nyengir].

Hati-hati, karena kemarahan juga, bukan, yang menyebabkan seseorang menghabisi nyawa seseorang?

***

Ternyata, imbalan menahn diri ketika marah itu bukan cuma meringankan beban kita di dunia [untuk bertanggungjawab memperbaiki apa yang sudah kita rusak].

Nih:

Barangsiapa yang menahan amarah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, Allah akan panggil ia di hadapan para makhluk pada hari kiamat, hingga Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari (terbaik) yang ia inginkan (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Sahabat Nabi Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhu berkata: Tidak ada luapan yang lebih besar pahalanya di sisi Allah selain daripada luapan kemarahan yang ditahan oleh seseorang hamba demi menggapai wajah Allah (riwayat al-Bukhari dalam Adabul Mufrad)

tumblr_m1i196hKLg1r7r6nmo1_500
Gambar dari sini

***

See? Allah know you the best..

bayi-marah_resize

Jakarta, 13 Juni 2013, 14.30
Lagi-lagi berbuat 'kriminal' di kantor, xixixixi

Tuesday, April 16, 2013

Manusia-Manusia Autis


images (4)

Orang-orang bilang, orang autis itu orang yang punya dunianya sendiri. Sebenarnya bukan hanya autis, toh, penyakit-penyakit yang menyerang otak (saraf). Autis hanya istilah awam untuk orang-orang yang mengalami keterbelakangan mental. Latar belakangnya bisa berbeda-beda. Ada yang memang diserang virus, ada yang memang kelainan bawaan, dan lain-lain. Pada dasarnya, orang-orang ini bisa dibilang ‘tidak bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan’.

***

Saya mengamati respons peserta terhadap dua presentasi yang berbeda, tetapi dengan inti yang sama. Intinya, presentasi ini ditujukan untuk menerbitkan buku di perusahaan X. Ada banyak faktor yang dapat menentukan reaksi peserta. Alur penyampaian, gaya presentasi, intonasi, gestur, interaksi, dan sebagainya. Yang lainnya saya tidak mengerti, yang saya tahu adalah, bagaimanapun tidak menariknya suatu presentasi, suatu dasar penyampaian materi dapat menjadi suatu titik yang sangat menentukan apakah saya akan terajak oleh suatu paparan persuasif selanjutnya atau tidak.

Pada intinya (lagi), presentasi pertama menekankan pada betapa ber’harga’nya seseorang jika telah menerbitkan buku. Betapa menerbitkan buku itu would make someone being so much worth. Presentasi kedua mengarahkan dari kondisi lapangan mengenai buku-buku yang berpotensi untuk diterbitkan oleh peserta. Intinya (lagi-lagi), yang satu memotivasi dari diri dan untuk keuntungan diri, yang satu memotivasi dari kondisi luar dengan keuntungan diri sebagai ‘sampingan’.

Well, intinya (lagi-lagi-lagi), saya lebih termotivasi oleh penekanan presentasi pertama—that’s make me being worth and give me the worth (moril dan materil), dan untuk dunia ‘luar’ sebagai efek.

***

Self-oriented.

Manusia cenderung melihat apa yang terlihat sebagai sesuatu yang nyata dan apa yang tidak terlihat sebagai sesuatu yang semu. Kalau memilih, orang pasti akan memlih kenyataan daripada ‘khayalan’.

Memandang sesuatu sebagai kenyataan dan khayalan itu soal persepsi. Kenyataan bagi manusia adalah sesuatu yang teraba oleh indera—mata, telinga, lidah, kulit, hidung. Tapi, kenyataan bagi manusia yang berTuhan menyesuaikan dengan persepsi Tuhannya.

***

“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sekitarnya.”

Ungkapan ini sudah sangat sering kita dengar, sampai terasa samar sebenarnya siapa yang mengatakannya. Dari aspek ini saja, kita sudah banyak membuat pembenaran-pembenaran: bahwa bermanfaat itu bisa dalam hal apa saja, loh; bahwa yang penting saya tidak mengganggu orang lain; bahwa tidak apa-apa hal kecil juga, kalau yang besar memang tidak kesampaian; dan bahwa-bahwa lainnya.

Semua pembenaran ini memang benar, sedikit. Ketika kembali membahas potensi yang diberikan pada manusia, semua pembenaran ini akan menjadi salah besar. Potensi internal (pendengaran, pengelihatan, dan hati) dan eksternal (Qur’an dan Dienullah) diberikan agar manusia dapat mencapai sesuatu yang besar. Apakah tugas sebagai hamba (QS 51:56) dan khalifah di muka bumi (QS 2:30) itu bukan suatu tugas yang besar? Apa jadinya jika seseorang mengabaikan salah satu dari tugas itu? Apakah dia masih bisa berpikir dia akan selamat?

Bahkan, bisa jadi, surga dan neraka itu masih menjadi khayalan bagi banyak manusia, mungkin termasuk diri kita sendiri. Buktinya? Coba saja posisikan diri, ketika ‘diajak’ untuk memperjuangkan sesuatu yang mungkin saja tidak terlihat ‘untung’nya bagi diri sendiri, atau merasa “tidak begitu juga tidak apa-apa”.
Kembali lagi, nyata atau semu itu masalah persepsi. Bagi manusia yang berTuhan, kenyataan itu adalah apa yang sesuai dengan persepsi Tuhannya pula. Jika seseorang masih menggunakan persepsi pribadi untuk menilai sesuatu yang nyata atau khayalan, maka, bisa jadi, Tuhannya adalah dirinya sendiri.

Dalam persepsi Qur’an, menjalankan tugas sebagai hamba dan khalifah bahkan bisa saja sama sekali tidak menghasilkan keuntungan moril dan materil duniawi, tetapi imbalannya jelas jauh lebih berharga dari emas sepenuh bumi. Maka, dalam persepsi Qur’an, dunia itu khayalan, yang nyata itu kehidupan setelah mati.

"Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?" (QS 6:32)

"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui." (QS 29:64)

"Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu." (QS 47:36)

Maka, jika seseorang masih bersusah-payah hanya mengejar dunia, tanpa visi dan misi untuk kehidupan setelah mati, dia masih belum bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang semu. Autis.

Dan, jika seseorang sudah bisa membedakan, tetapi keukeuh dengan persepsinya sendiri, maka sudah bisa dideteksi bahwa dia tidak meyakini persepsi ‘yang diakui sebagai Tuhannya’; dia menjadikan dirinya sendiri sebagai Tuhannya. Self-oriented.

***

Dan, apa tadi, kelainan yang membuat seseorang tidak bisa membedakan mana khayalan dan mana kenyataan? Yang punya dunianya sendiri? Skizofrenia? Autis?

***

Malangnya bagi manusia seperti ini, dunia sepenuhnya ada yang menguasai—Allah. Apa pun penilaian kita masing-masing saat ini, pada akhirnya Dia-lah yang akan menghakimi.

Yogyakarta-Jakarta, 14-16 April 2013
Sedang introspeksi diri

Tuesday, March 19, 2013

Memoar Ciremai: "Tuhan bilang, tidak perlu bertanya!"


Ciremai itu kabarnya 3078 mdpl. Surprise.......

***

Aku ingat, saat itu aku sedang melarikan diri. Bisa dibilang aku ini anak 'rumahan'. Melihat banyak hal di televisi rasanya tersiksa. Ingin ke sini, ingin ke situ, dengan banyak hal, terpaksa kuputus. Ingin ini, ingin itu, juga tak bisa.

Yang namanya berkeliling dunia, menginjak tanah-tanah yang berbeda, atau berkarya setinggi-tingginya, bagi ku, bagi kami, rasanya tidak berlaku. Adaaaaa saja yang menghambat dan membuatku tak berkutik. Entah itu materi, waktu, kondisi, prioritas,....

***
Saat itu aku ingat betul, aku melarikan diri.

Aku tak peduli lagi materi, waktu, kondisi, prioritas....aku ingin naik kesana, ke tempat yang aku sama sekali tidak tahu menahu. Tak peduli menghabiskan uang puluhan persen gaji, tak peduli seberapa lelah, tak peduli resiko nanti, tak peduli kondisi saat itu, tak peduli juga dengan banyak hal yang belum kubereskan...

Aku ingin, sekali saja....

***

'Sekali saja' itu pernah ku coba sebenarnya, naik ke Gunung Geulis di belakang rumah, mungkin tak lebih dari 800 mdpl. Tapi tidak sampai.

***

Dan urusan naik Ciremai itu aku serahkan saja pada teman-teman. Urusanku hanya berjalan. Tak tahu menahu tingginya, tak tahu menahu kabar medannya, tak tahu menahu kabar takhayulnya, bahkan tak tahu menahu ada kawah di atasnya...

***

Berapa hari aku naik turun ya? Rasanya sih 4 hari 3 malam. Lama memang, karena ada 4 laki-laki dan 3 perempuan. Perempuan yang memperlambat, juga barang bawaan yang 'ternyata' berlebih.

Ahad, 08 April 2012, 07.45. Akhirnya aku bisa menyentuh langit. Dan, waaaah...kejutan dariNya banyak sekali.

Hal pertama yang kuucapkan dalam hati saat sampai di puncak adalah "Loh, ada kawah ya?" Usut punya usut, barulah aku tahu Ciremai itu kabarnya 3078 mdpl. Barulah aku tahu Ciremai itu kabarnya Gunung tertinggi di Jawa Barat. Dan baru aku tahu kabarnya dari puncak ciremai itu bisa terlihat Laut Jawa.

Dan, hei, kejutan terhebatnya, aku baru sadar setelah sekian belas menit di puncak: "Ini puncak pendakian PERTAMA sepanjang 23 tahun ini!" dan WOW, puncak pertamaku Ciremai, sodara-sodara!


***

Dan setelah pengakuanku bahwa ini adalah puncak pertama, inilah pengakuan teman-temanku.

Saat aku memutuskan ikut, mereka tidak yakin akan mampu mendaki sampai puncak.

Aku tertawa. Setelah reputasiku di Gunung Geulis, siapa juga yang akan percaya aku bisa naik Ciremai. Secara, di antara 3 perempuan yang ikut itu, aku yang fisiknya paling bontot, plus paling lemah.

Gunung tertinggi, medan yang kata mereka berat (Apa ya namanya? Tanjakan Asoy? :D ), juga takhayul yang beredar..(well, ada yang gangguin kita juga sih di sana, tapi awalnya kukira babi hutan, ternyata temanku bilang makhluk halus..Wallahu'alam).

Satu-satunya keberuntunganku hanya ketidaktahuanku tentang apapun, berikut ketidakyakinan mereka. Satu-satunya keberuntunganku hanyalah aku hanya tahu berjalan.

***

Ah...sering kali hidup memang tidak perlu tahu banyak hal, seperti Tuhan yang menyembunyikan banyak hal.
Tuhan katakan: tidak perlu bertanya, jalani saja semuanya, ya perintahNya, ya laranganNya...seperti cara kita meyakini alif lam mim...

Sehingga, ketika menempuh jalanNya kau tidak akan sedikitpun merasa takut.

Karena satu-satunya jalan menunju padaNya, toh, sudah Dia tentukan. Ketakutan kita tidak akan membuatNya menciptakan jalan lain.


Jakarta, 9 Oktober 2012, 21.39
..aku senang..saat tidak ada satu pun di atas ku selain langit..
Nah kan...lagi-lagi menulis yang bukan ingin kutulis..Zzzz

Monday, February 25, 2013

Senja yang Getir


Menghadapi masa senja itu seberapa getirnya? Jelas pertanyaan ini hanya bisa ku jawab saat menghadapi masa senja nanti. Itu pun, kalau memang sampai waktu ku ke sana. Apakah sama dengan getirnya orang-orang yang takut pada kematian saat menghadapi senja? Bertanya-tanya, apakah esok pagi aku masih akan membuka mata?

Ah, begitu rupanya. Masa muda, masa senja, bagi yang selalu ingat mati, tidak akan ada bedanya.

***
Pada setiap senja yang getir, alam selalu mencoba menggetarkan hati atas kematian. Seberapa membatu hatiku hingga tidak merasakan apa pun?

Kau tahu, Ayah, ada senja yang lebih getir.

Senja saat aku tahu bahwa kematian bisa datang kapan saja, tetapi sama sekali tidak ketakutan. Iman macam apa ini?

Sekali dua kadang aku terguncang, setelah itu hilang. Setan kah yang menenangkanku, Ayah? Aku, berkali-kali, mengutuk diri...sungguh getir.

images
***
Jakarta, 27 Januari 2013, 19.17