Thursday, October 6, 2011

Soal ‘Keinginan’, Baru Satu Ayat..

Kadang penting untuk memaki-maki diri sendiri. Belajar bijaksana menilai  keboodohan diri, dan tak layak atas pembelaan apapun. Tapi seringnya, kita memaki pada keadaan. Lalu tertutuplah mata atas kesalahan-kesalahan diri. Menjalani hidup dengan kemarahan, memaki setiap pekerjaan yang inginnya tidak dikerjakan.
Soal ingin dan tidak ingin, kita juga lupa. Bahwa hidup juga bukan karena keinginan kita. Artinya, melakukan apapun dalam hidup tidak bisa dilandaskan atas keinginan atau ketidakinginan. Disini kita diuji dengan penuhanan diri—meNuhankan Diri. Hidup mengikuti keinginan sendiri, lupa, buta dengan tugas dan fungsinya ketika diamanahkan lahir di dunia.

Ya, lupa kan? Kelahiran kita di bumi adalah amanah. Ada tugas yang harus kita kerjakan. Dan ada Hak yang Tuhan juga berikan kepada kita, seolah kita bukan ciptaanNya—hambaNya, budakNya. Bergelimpangan karuniaNya membuat kita merasa memang kita bukan budak (baca:hamba) Nya. Lupa.

Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu.” (TQS Adz dzariyat : 56)

Ayat yang akrab di telinga. Tapi bagaimana memaknainya?

Hidup jin dan manusia untuk ibadah, yaitu kegiatan yang dilakukan ‘abid’ (hamba), pada yang dihambai. Tak biasanya seorang budak memiliki hak, kecuali yang ditetapkan oleh tuannya. Begitu pengasihnya Allah memberikan hambaNya hak atas karuniaNya, potensi-potensi yang mengarahkan pada peribadatan padaNya—pendengaran, pengelihatan, hati, ilham, jasad..apa lagi yang kurang?

“..diciptakan untuk beribadah..”

Ada hak, ada kewajiban. Kewajiban kita adalah hidup untuk ibadah. Bagaimana jika ibadah untuk hidup?
Bagaimana bisa waktu kita bernilai ibadah, jika apapun yang dikerjakan dilandaskan pada keinginan? Apalagi, jika menggerutu saat kewajiban tidak sesuai dengan keinginan..bernilaikah? tidak.

Dengan membiarkan waktu hidup tanpa bernilai ibadah, maka satu ayat tadi, telah kita langgar.

Baru satu ayat..selamat !
gazebo d6 lagi, jatinangor
10.34
hana muwahhida
masih berangin-angin

Wednesday, October 5, 2011

Inilah manusia : Kebenaran selalu tidak lebih benar daripada kebatilan.

Pernah mendengar satu cerita..lupa tepatnya seperti apa.

Digambarkan bahwa sebelum Muhammad saw diangkat menjadi Rasul, beliau berasal dari kalangan bangsawan Quraisy, namun tidak tersentuh oleh pola-pola kejahiliyahan masyarakat Makkah saat itu, meski paman-pamannya adalah pejabat-pejabat tinggi di sana. Semenjak kecil dipelihara oleh Halimatus Sa’diyah, dijauhkan dari pergaulan ‘metropolis’ ala Makkah saat itu. Dibelah dadanya oleh malaikat dan dikeluarkan organ dalam berwarna hitam nan busuk dari dadanya. Dinaungi awan teduh setiap kali mengadakan perjalanan. menjadi orang paling berpengaruh di Makkah (dijuluki Al-Amin), dengan jalan yang bersih dari maksiat. Diandalkan oleh penduduk Makkah, seperti halnya pada saat peristiwa Hajar Aswad. Orang nomer satu lah..

Seingat saya, pada suatu cerita, rasulullah yang terbiasa menggembalakan hewan ternak milik pamannya saat remaja, ingin sekali-sekali seperti remaja lainnya, bersenang-senang menikmati pertunjukan. Tapi setiap kali akan pergi, beliau selalu tertidur. Hingga, beliau benar-benar sama sekali tidak tersentuh oleh hal-hal buruk selama hidupnya sebelum diangkat menjadi Rasul.

Pada kemudian hari, hal ini dibahas sebagai bentuk penjagaan Allah terhadap manusia yang akan ditunjuk oleh Allah menjadi utusanNya.

Yang menjadi pembahasan, bahwa Rasulullah pun manusia. Artinya, bentuk penjagaan Allah tersebut bisa saja berlaku pada manusia lainnya, termasuk manusia jaman sekarang (baca:kita). Hanya saja, kita seringkali memilih untuk mengabaikan penjagaan tersebut. Dan yang sering kita katakan adalah “Yah, Rasulullah sama kita kan beda, ga bisa sama seperti beliau,”

Akibatnya, penjagaan Allah terhadap kita (bisa melalui perintah dan larangannya; Al-Qur’an dan Sunnah), lebih sering kita anggap sebagai pengekangan kebebasan manusia (baca: Hak Asasi). Manusia berhak bersenang-senang, manusia berhak memilih apa yang disukainya, manusia ‘menjadi’ berhak melakukan apapun.

Karena hidup Cuma sekali, manusia menjadi berhak melupakan penciptanya, dan hakikat hidupnya.

Kalau dibahas berdasarkan perspektif, dalam perspektif iman-pada-Allah, penjagaan Qur’an dan Sunnah terhadap manusia adalah kebenaran. Tapi dalam perspektif iman-pada-hawa-nafsu, penjagaan Allah itu adalah pengekangan, kebatilan.

Inilah manusia : Kebenaran selalu tidak lebih benar daripada kebatilan.

Kenapa? Jawabannya jelas. Karena kebatilan, landasannya hawa nafsu. Dan hawa nafsu itu komponen mutlak pada manusia, yang selalu menyenangkan jika dipenuhi. Yang menyenangkan ini, jika landasan keimanannya hawa nafsu, menjadi kebenaran baginya.

Dan karena...bagi kebatilan, manusia selalu mencari-cari pembenaran. Sedangkan bagi kebenaran, manusia selalu mencari-cari kesalahan didalamnya.

Inilah manusia : Kebenaran selalu tidak lebih benar daripada kebatilan.

gazebo d6, fakultas farmasi Unpad, jatinangor
11.44
Hana Muwahhida
menikmati masuk angin di keramaian..