Kadang penting untuk memaki-maki diri sendiri. Belajar bijaksana menilai keboodohan diri, dan tak layak atas pembelaan apapun. Tapi seringnya, kita memaki pada keadaan. Lalu tertutuplah mata atas kesalahan-kesalahan diri. Menjalani hidup dengan kemarahan, memaki setiap pekerjaan yang inginnya tidak dikerjakan.
Soal ingin dan tidak ingin, kita juga lupa. Bahwa hidup juga bukan karena keinginan kita. Artinya, melakukan apapun dalam hidup tidak bisa dilandaskan atas keinginan atau ketidakinginan. Disini kita diuji dengan penuhanan diri—meNuhankan Diri. Hidup mengikuti keinginan sendiri, lupa, buta dengan tugas dan fungsinya ketika diamanahkan lahir di dunia.
Ya, lupa kan? Kelahiran kita di bumi adalah amanah. Ada tugas yang harus kita kerjakan. Dan ada Hak yang Tuhan juga berikan kepada kita, seolah kita bukan ciptaanNya—hambaNya, budakNya. Bergelimpangan karuniaNya membuat kita merasa memang kita bukan budak (baca:hamba) Nya. Lupa.
“Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu.” (TQS Adz dzariyat : 56)
Ayat yang akrab di telinga. Tapi bagaimana memaknainya?
Hidup jin dan manusia untuk ibadah, yaitu kegiatan yang dilakukan ‘abid’ (hamba), pada yang dihambai. Tak biasanya seorang budak memiliki hak, kecuali yang ditetapkan oleh tuannya. Begitu pengasihnya Allah memberikan hambaNya hak atas karuniaNya, potensi-potensi yang mengarahkan pada peribadatan padaNya—pendengaran, pengelihatan, hati, ilham, jasad..apa lagi yang kurang?
“..diciptakan untuk beribadah..”
Ada hak, ada kewajiban. Kewajiban kita adalah hidup untuk ibadah. Bagaimana jika ibadah untuk hidup?
Bagaimana bisa waktu kita bernilai ibadah, jika apapun yang dikerjakan dilandaskan pada keinginan? Apalagi, jika menggerutu saat kewajiban tidak sesuai dengan keinginan..bernilaikah? tidak.
Dengan membiarkan waktu hidup tanpa bernilai ibadah, maka satu ayat tadi, telah kita langgar.
Baru satu ayat..selamat !
gazebo d6 lagi, jatinangor
10.34
hana muwahhida
masih berangin-angin
No comments:
Post a Comment