Awalnya jelas. “dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia
melainkan agar mereka melaksanakan ibadah kepadaKu,” (QS 51 :56). Tetapi memang
tidak sesedarhana itu. Paling tidak, banyak dari kita yang muslim merasa tidak SESEDERHANA
itu. Karena dunia kebendaan sudah begitu terbuka lebar, menawarkan berjuta suka
cita. Kita disudutkan, diperangkap, dan dikotak-kotakkan ke dalam
kesalahpengertian. Kita jadi berpikir dan bersikap lain.
Adakalanya, kita perilakukan Tuhan layaknya manusia. Cukuplah
dengan sekadar sanjungan, persembahan, dan sedikit peribadahan dalam saat-saat
tertentu. Selebihnya, kita menjadi ‘pelayan’
bagi sesuatu yang lain. Dengan ini kita MERASA telah beribadah.
Atau, kita anggap dunia sebagai rumah penjara. Tubuh adalah
ruang tahanan jiwa. Dan antara kesucian serta pencarian aspek kebendaan adalah
dua hal yang sulit dipertautkan. Kita tanggalkan dunia. Lari ke pojok-pojok
terpencil, membuang dan menyiksa diri. Kita sebut nama Tuhan berulang. Dengan itu kita menganggap sampai kepada puncak
kekuatan ibadah. Kita MERASA telah beribadah.
Lalu apa yang bisa diharapkan dari keduanya? Bagaimana kiranya
Tuhan berkenan atas pelayanan itu? Bagaimana pula masyarakat muslim bisa
terbentuk karenanya?
(Sayid Abul ‘Ala Maududi, Dua Pilar Islam dalam Sistem
Peribadatan, 1983)
No comments:
Post a Comment