Reaksi setiap orang
ketika mendengar atau melihat suatu berita akan berbeda. Dan jika kita
mengamati sedikit lebih jauh, kita akan menemukan bahwa hampir setiap berita
sekarang ini selalu merupakan kabar buruk. Belakangan yang santer terdengar
yaitu isu naiknya harga BBM april mendatang. Ada yang tercengang, ada yang
merenung, ada yang biasa saja, ada yang marah, ada yang frustasi, mungkin juga
ada yang malah merasa senang, wallahu’alam. Pun, akibatnya pada setiap orang
juga akan berbeda. Ada yang tidak terpengaruh, ada yang semakin berjaya, namun
jauh lebih banyak yang tercekik—mengingat lebih dari separuh dari seluruh
masyarakat Indonesia merupakan kelas pas-pasan ke bawah.
Belum lagi ‘derita
negeri’ lainnya; korupsi, pembunuhan, perampokan, kecelakaan, bencana alam, dan
kawan-kawannya. Kalau ada saja satu orang yang dengan rajin menghitung
persentase berita buruk dengan berita baik di negeri ini, mungkin hasilnya akan
99% berita buruk di seluruh bidang, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan hankam, yang semuanya saling berkait. Salah satu contohnya saja,
efek dari naiknya harga BBM kali ini akan membuat harga-harga yang lain juga
naik. Kebutuhan hidup meningkat, namun penghasilan tetap. Yang sebelumnya
terpuruk, akan makin terpuruk. Mengingat satu sabda Rasulullah, bahwa kefakiran
sungguh dekat dengan kekufuran, hidup yang tercekik akan membuat siapapun akan
berbuat apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk mencuri,
membunuh—menghalalkan segala cara. Dari masalah ekonomi melebar ke masalah
sosial.
Semakin lama akan
semakin sedikit jumlah orang ‘waras’ di negeri ini. Sebagai individu, ada dua
pilihan bagi kita : ikut terhanyut atau melawan arus. Dari akal sehat kita akan
dapatkan jawaban untuk melawan arus, atau minimal bertahan dari kekufuran
ditengah kefakiran. Namun, sunnatullahnya, Allah men-setting ujian untuk
senantiasa meningkat. Apa, yang akan bisa membuat kita bertahan?
Firman Allah
ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah
[2]: 45). Jika sabar sudah, shalat sudah, tetapi maksiat tetap berlanjut,
berarti ada sesuatu yang harus diluruskan.
Persepsi umum
masyarakat tentang sabar adalah pasrah. Bukan pasrah pada Allah, namun pasrah
pada keadaan. Orang sabar, (maaf)
pantatnya lebar. Pelesetan ini sudah sering kita dengar. Tapi memang
begitulah adanya. Orang yang sabar adalah orang yang duduk manis dan menerima
apapun yang terjadi tanpa berbuat sesuatu, seolah pintu penyelesaian dari suatu
masalah tidak pernah ada.
Ibnul Qayyim pernah
berkata“Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila
kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” Menurut Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah, sabar adalah meneguhkan diri
dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat
kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi
takdir Allah (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24). Sabar merupakan sikap
optimisme seorang mukmin atas segala hal yang dihadapinya. Setiap masalah akan
selalu ada jalan keluar, dan juga, setiap masalah tidak akan melampaui batas
kemampuan diri.
“Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan.Maka apabila kamu telah selesai (dari
sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. dan
hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. Al-Insyirah :5-8)
Allah
memerintahkan kita untuk mengerjakan urusan, dan berharap hanya pada Allah.
Kemudian, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya,” (QS Al-baqarah : 286)
Jika
seseorang memiliki keyakinan atas apa yang telah Allah janjikan dalam
firman-firmannya, disitulah kesabaran akan bekerja. Apapun yang terjadi,
seberat apapun tantangan yang dihadapi, ia akan teguh dalam ketaatannya. Keyakinan
yang akan membuat dia percaya akan ada akhir yang baik dari apa yang diusahakannya. Juga tentang ujian yang
terus akan meningkat, dia akan sama sekali tidak keberatan.
“Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah
beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS Al-Ankabut : 2)
Ujian
bagi orang beriman akan menimbulkan kesyukuran, karena justru keimanannya lah
yang mendatangkan ujian. Dan bentuk kesyukuran itu adalah sabar dan tawakalnya
pada Allah. Pada akhirnya, sabar adalah keimanan itu sendiri. Semakin yakin seseorang
pada Allah, semakin kuat dia menghadapi apapun dalam ketaatan. Kesabaran yang sejati tidak
akan membuat seseorang keluar dari jalur ketaatan pada Allah swt. Artinya, jika ujian, masalah, kesenangan, apapun itu, masih melalaikan
kita dari ketaatan pada Allah, maka pertanyakanlah iman kita.
Lain
daripada itu semua, imbalan yang ini pasti sangat menggiurkan. Allah ta’ala
berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran
kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).
“Mereka
itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga)
dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
Jika
ketidaksabaran dapat menjerumuskan kita pada kelalaian dan kekufuran—dan pada
akhirnya neraka, maka kesabaran juga merupakan
syarat mutlak untuk kita bisa membeli surga Allah. Setelah memahami ini
semua, rasanya tidak ada jalan lain bagi kita selama hidup di tengah kefakiran
dan kekufuran, selain bersabar dan tawakal.
“Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah,
supaya kamu beruntung.” (QS Ali-Imran : 200)
Wallahu’alam bish
shawab
untuk Buletin Keluarga Sakinah DPU-Daarut Tauhid
Edisi Maret (atau April ya?) 2012
No comments:
Post a Comment